Jumat, 20 Februari 2015

Atas Nama Kasih

Momen wisuda adalah momen yang penuh arti. Bukan hanya untuk sang wisudawan maupun orang tuanya, namun juga untuk cinta-cinta yang selama ini terpendam.
Sudah dipercaya untuk menjemput orang tua nya di bandara sampai menjadi EO dadakan untuk even syukuran wisuda doi bukan jaminan janur kuning akan segera melengkung. Boro-boro, bahkan mungkin secara personal dengan doi belum lampu hijau.
Mereka terjebak "Friendzone".

Friend, my butt.

Mengurus segala sesuatu bersama, makan bersama, melewati momen penting bersama juga bukan jaminan ada rasa cinta yang terpantik.
Dan meskipun seluruh dunia tahu klo cinta itu bertepuk sebelah tangan tapi doi ga tahu, semuanya akan terlihat seperti......tidak pernah terjadi apa-apa.

Perhatian sudah sampai tumpah tumpah dicurahkan. Tenaga, pikiran, waktu bahkan mimpi sudah rela dibagikan.

Mereka bahkan saling men-cie-kan dengan orang lain yang...terlihat ditaksir. Padahal yang dicintai ada di depan mata.

Waktu terus berjalan, meninggalkan cinta yang tidak pernah dikenal sang empunya.
Tubuh bergerak menjauhi cinta itu, berlari ke depan dengan seonggok beban dan harapan orang orang yang mencintai tubuh. Dengan langkah penuh pasti, bayangannya perlahan menghilang. Hilang dari pandangan, hilang dari pengawasan.
Seringnya mencuri pandang saat berlatih paduan suara bersama, saat rapat bersama, bahkan saat ibadah bersama.

Tidak apa tidak memilikinya, selama masih bisa terus melihatnya.

Sekarang tidak memilikinya menjadi satu masalah besar, karena tidak bisa lagi melihatnya. Ruang dan waktu memisahkan raga.

Takkan lagi terdengar alunan melodi yang dia mainkan lewat tuts tuts piano, takkan lagi terdengar dialeknya yang sangat kental mengejutkan selengkung senyum.
Dan yang pasti, takkan ada lagi debar debar yang muncul jika berada di dekatnya, menatap matanya, mendengar tawanya, bahkan menyentuh bahunya.

Kini tinggallah seorang diri, mengantarkan cinta yang tak punya jawaban pergi memberi jarak untuk sebuah masa depan yang masih kabur namun menjanjikan.
Kini tinggallah seorang diri, yang malam sebelum mengantar cinta pergi, sempatnya mencuci rambut hingga berbau taman bunga.
Bangun pagi sekali karena penerbangan paling awal, tak mau tertinggal melihat wajahnya untuk yang rasanya terakhir kali. Terakhir kali dengan raga yang masih ditempeli rasa cinta yang tak terungkapkan.
Mungkin besok perasaan bisa berubah, mungkin juga tidak, atau mungkin abadi?
Bukankah yang abadi di dunia ini adalah perubahan itu sendiri? Entahlah.

Mungkin cinta itu bukannya belum terungkapkan, namun belum terjawab, atau mungkin telah dijawab dan jawabannya "jangan mencintai aku." atau "aku hanya menganggapmu adik." atau malah "tunggullah sampai aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri." atau bahkan "terima kasih sudah mencintaiku, tapi maaf aku sudah punya cinta yang lain."
Waw.

Aku sangat iri pada mereka yang berani menyatakan cintanya.
Bukan hanya berani mengungkapkannya, tapi mereka berani mendengar dan melihat respon sang empunya cinta.
*standingapplause*

Keberanian itu mematahkan rasa penasaran yang sudah sampai ke ubun-ubun, memperjelas harapan yang kabur, dan menjalankan hidup ke langkah lainnya.

Atas nama kasih, selamat atas kelulusannya. Semoga sukses cita dan cintanya. Kalau udah ada "calonnya", undang-undang lah ya.

Heartless.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar